“Ta?” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku dari
belakang, yang ternyata Ibuku. “Ngapain berdiri aja di situ? Ayo cepat,
perjalanan ke bandara kan cukup lama, belum macetnya”.
“Iya Bu sebentar.” Aku menoleh kembali ke arah
depanku. Masih ingin menatap rumah yang akan kutinggalkan. Kenanganku. Merasa
lucu waktu pertama pindah ke rumah ini delapan tahun yang lalu. Aku terus
menerus menekukkan muka karena tidak menyukai suasananya. Namun, sekarang
terasa berat untuk meninggalkannya. Terlebih lagi meninggalkan kota ini, dan
meninggalkan seseorang yang selama empat tahun ini menarik perhatianku. Padahal
pada akhirnya kami bisa menjadi dekat, dan itu sudah berlangsung selama satu
tahun. Beberapa hari sebelum kepindahanku-hari ini- tidak ada kabar darinya.
Dia memang sudah mengetahui mengenai kepindahanku ini, tetapi tidak tahu kapan
tepatnya.
‘Keluargaku
memutuskan untuk pindah tempat tinggal keluar pulau, karena aku diterima di
salah satu Universitas di sana’.
Hanya itu yang kusampaikan kepadanya lewat pesan
singkat beberapa minggu yang lalu. Tidak ada balasan, tidak ada telepon, maupun
tidak ada sosok dirinya datang ke rumahku. Semua berubah sangat drastis.
“Hhh....” Aku menghela nafas dan menunduk
sebentar, kemudian mengangkat kepalaku kembali, “Sampai jumpa,” bisikku. Padahal tidak ada sosoknya. Lalu
berlari kecil menuju mobil, karena teriakkan Ibu untuk segera cepat terdengar
kembali.
Selama peerjalanan aku terdiam, pada saat mobil
melintasi di depan rumah Dia, aku terus melihat ke arah rumah itu, sampai tidak
terlihat lagi. Mungkin memang sudah seharusnya seperti ini. Pasrah dengan
kenyataan yang ada. Aku harus meyakinkan diriku, dengan kemungkinan kami akan
bertemu kembali, walaupun itu akan membutuhkan waktu yang lama. Namun, waktu
terus berjalan, kenyataan dan keadaan berubah.
Tujuh
tahun kemudian...
Aku kembali ke Pulau Jawa, tepatnya ke tempat
kotaku dulu, karena sebuah pekerjaan yang menuntutku untuk kembali. Sudah bayak
yang berubah kondisi jalanan dan tempat-tempat yang kulewati. Aku bahkan hampir
salah arah ketika mengendarai mobilku. Aku memutuskan untuk pergi ke taman
tempat dulu aku bermain dengan teman-teman semasa SMP dan SMA. Setelah
memarkirkan mobilku, aku berjalan menelusuri taman tersebut. Banyak anak kecil
yang bermain dengan riang gembira. Aku mengamati dari jauh, lalu tersenyum,
teringat akan kejadian bertahun-tahun yang lalu. Kemudian aku duduk di salah
satu bangku taman, mengeluarkan catatan pribadi dan bolpoin dari dalam tas
kecilku. Aku mulai menggambarkan suasana di sekitarku lewat tulisan. Hal
tersebut sudah menjadi kebiasaanku setiap kali aku pergi ke suatu tempat,
menyempatkan diri untuk mengabadikan kenangan tersebut di dalam catatan
pribadiku.
“Delyta?”
Di tengah keasikanku, seseorang memanggil namaku,
dengan suara khas yang berat, suara lelaki. Aku menoleh ke arah suara tersebut,
terheran karena masih ada yang mengenaliku. Padahal sudah lama sekali aku tidak
tinggal di sini.
“Delyta hanivka?” Seseorang itu mengulangi pertanyaannya,
kali ini menyebutkan nama lengkapku.
Aku masih menatapnya dengan ekspresi muka
bertanya-tanya, dan mengingat-ingat seseorang yang ada di hadapanku ini.
Sekilas mirip sekali dengan seseorang yang dulu pernah kutunggu kehadirannya.
Sedetik kemudian, aku menyadarinya. Ingatanku benar, aku mengenalinya. Dia yang
kutunggu kehadirannya.
“Arghian Pradika?” Aku balik bertanya dengan nada
yang lambat.
“Akhirnya kamu ingat juga.” Dia tersenyum dan
tertawa kecil. Senyuman yang kurindukan.
“Apa kabar?” Dia duduk di sampingku.
“Baik, seperti yang terlihat. Kamu sendiri
gimana?” Aku membalas senyumannya sambil menutup catatan pribadiku.
“Sama, baik banget malah, hehehe. Kok ditutup
bukunya? Sudah selesai atau aku mengganggu?”.
“Oh, nggak kok, Cuma lagi iseng aja, hehehe”.
“Kamu nggak beruah, masih kayak dulu, padahal udah
lama banget nggak ketemu. Makanya tadi aku langsung ngenalin kamu.”
“Oh ya? Masa sih? Apanya yang nggak berubah?”
“Mata sipit, hidung pesek, mulut kecil, badan
kecil, suara kecil, nggak ada perubahan sama sekali, hehehe”.
“Ih, yang kamu sebutin itu kan emang nggak bakal
bisa diubah kecuali badan sama suara. Lagian juga badan aku berubah kok, nggak
kecil kayak yang kamu bilang, berat badan aku sekarang tuh udah seimbang sama
tinggi badan. Huh.” Aku mendengus, agak kesal, tetapi tidak terlalu serius.
“Tuh kan persis kayak dulu. Cerewet, bawel, dan
rewel.” Tambahnya dengan ekspresi muka jahil yang sangat khas, seperti dulu.
“Kamu juga, masih sama jahilnya kayak dulu.” Aku
membalas perkataannya. Kemudian dia tertawa.
Ya, semuanya seperti dulu. Pembicaraan ini seperti
rekaman lama yang diputar ulang. Saling mengejek, sampai pada akhirnya aku yang
kalah dan dia tertawa bahagia, menikmati ekspresi mukaku yang tertekuk. Kami
saling berbincang, bertukar pikiran, dari satu hal ke hal lain. Tidak terbesit
di pikiranku untuk bertanya kepadanya tentang alasan dia sempat menghilang
tujuh tahun yang lalu, karena untuk sekarang hal itu tidaklah penting. Aku
sudah menganggap tidak ada pertanyaan untuk masa lalu. Dia pun tidak membahas
masalah itu. Kini, hubungan kamimembaik kembali. Sebenarnya hal itu terjadi pun
sudah membuatku cukup bahagia.
“Apa sekarang kamu kerja di sini?” Dia bertanya,
sambil menatapku.
“Iya. Pindah tugas, kenapa?”
“Nggak apa-apa. Tinggal dimana?”
“Aku beli apartemen, soalnya kalau rumah terlalu
besar untuk sendiri.”
“Oh, sendiri. Keluargamu nggak ikut balik ke
sini?”
“Nggak, Ayah sama Ibu udah betah di sana,
maklumlah kota kelahiran Ayah.”
“Oh.... Kamu tinggal di sini lama atau sebentar?”
Sifatnya tidak berubah, jika sudah bertanya satu hal, pasti terus bertanya,
tetapi dia tidak akan menjawab jika ditanya balik.
“Yaaah... nggak tau juga deh, kalau kerjanya enak
ya aku bakal betah di sini, hehehe.”
“Oh....”
Hening...
“Yaudah, dibetah-betahin aja ya di sini. Jangan
pergi-pergi lagi. Di sini aja, biar aku bisa terus mantau kamu.” Lanjutnya
tiba-tiba.
“Maksudnya?” Aku menatapnya, meminta penjelasan
dari kata-katanya tadi.
“Maksudnya tuh kamu harus betah tinggal di sini,
di kota ini, karena nanti nggak lama lagi aku ngelamar kamu nggak harus
nyebrang lautan dulu, gitu. Ngerti nggak?” Ucapnya sambil menatap mataku.
Aku sangat terkejut karena perkataannya tadi. Aku
hanya bisa diam sambil membalas tatapan matanya dengan perasaan heran, kaget,
sekaligus senang. Dia tersenyum melihat ekspresiku. Senyumannya yang khas itu
membuatku tersenyum juga, dan ada rasa sedikit terharu.
Penantianku selama lebih kurang sebelas tahun
ternyata tidak sia-sia. Selama tujuh tahun aku di luar pulau jawa, ternyata dia
terus menunggu kepulanganku. Saat dia mengakui hal itu aku sempat bertanya
kepadanya jika aku tidak kembali ke kota ini. Dia pun menjawab dengan muka
jahilnya dan mengatakan bahwa dia akan menyusulku dan menyeretku untuk kembali.
Aku pun tertawa mendengar jawaban darinya. Tujuh tahun yang lalu aku
mengucapkan ‘Sampai jumpa’ bukannya ‘Selamat tinggal’ karena pada waktu itu aku
percaya kita berdua pasti bertemu kembali.
03 Agustus 2012
23:53