Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Rabu, 12 September 2012

So Long


“Ta?” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku dari belakang, yang ternyata Ibuku. “Ngapain berdiri aja di situ? Ayo cepat, perjalanan ke bandara kan cukup lama, belum macetnya”.

“Iya Bu sebentar.” Aku menoleh kembali ke arah depanku. Masih ingin menatap rumah yang akan kutinggalkan. Kenanganku. Merasa lucu waktu pertama pindah ke rumah ini delapan tahun yang lalu. Aku terus menerus menekukkan muka karena tidak menyukai suasananya. Namun, sekarang terasa berat untuk meninggalkannya. Terlebih lagi meninggalkan kota ini, dan meninggalkan seseorang yang selama empat tahun ini menarik perhatianku. Padahal pada akhirnya kami bisa menjadi dekat, dan itu sudah berlangsung selama satu tahun. Beberapa hari sebelum kepindahanku-hari ini- tidak ada kabar darinya. Dia memang sudah mengetahui mengenai kepindahanku ini, tetapi tidak tahu kapan tepatnya.

Keluargaku memutuskan untuk pindah tempat tinggal keluar pulau, karena aku diterima di salah satu Universitas di sana’.

Hanya itu yang kusampaikan kepadanya lewat pesan singkat beberapa minggu yang lalu. Tidak ada balasan, tidak ada telepon, maupun tidak ada sosok dirinya datang ke rumahku. Semua berubah sangat drastis.

“Hhh....” Aku menghela nafas dan menunduk sebentar, kemudian mengangkat kepalaku kembali, “Sampai jumpa,” bisikku. Padahal tidak ada sosoknya. Lalu berlari kecil menuju mobil, karena teriakkan Ibu untuk segera cepat terdengar kembali.

Selama peerjalanan aku terdiam, pada saat mobil melintasi di depan rumah Dia, aku terus melihat ke arah rumah itu, sampai tidak terlihat lagi. Mungkin memang sudah seharusnya seperti ini. Pasrah dengan kenyataan yang ada. Aku harus meyakinkan diriku, dengan kemungkinan kami akan bertemu kembali, walaupun itu akan membutuhkan waktu yang lama. Namun, waktu terus berjalan, kenyataan dan keadaan berubah.

Tujuh tahun kemudian...

Aku kembali ke Pulau Jawa, tepatnya ke tempat kotaku dulu, karena sebuah pekerjaan yang menuntutku untuk kembali. Sudah bayak yang berubah kondisi jalanan dan tempat-tempat yang kulewati. Aku bahkan hampir salah arah ketika mengendarai mobilku. Aku memutuskan untuk pergi ke taman tempat dulu aku bermain dengan teman-teman semasa SMP dan SMA. Setelah memarkirkan mobilku, aku berjalan menelusuri taman tersebut. Banyak anak kecil yang bermain dengan riang gembira. Aku mengamati dari jauh, lalu tersenyum, teringat akan kejadian bertahun-tahun yang lalu. Kemudian aku duduk di salah satu bangku taman, mengeluarkan catatan pribadi dan bolpoin dari dalam tas kecilku. Aku mulai menggambarkan suasana di sekitarku lewat tulisan. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaanku setiap kali aku pergi ke suatu tempat, menyempatkan diri untuk mengabadikan kenangan tersebut di dalam catatan pribadiku.

“Delyta?”

Di tengah keasikanku, seseorang memanggil namaku, dengan suara khas yang berat, suara lelaki. Aku menoleh ke arah suara tersebut, terheran karena masih ada yang mengenaliku. Padahal sudah lama sekali aku tidak tinggal di sini.

“Delyta hanivka?” Seseorang itu mengulangi pertanyaannya, kali ini menyebutkan nama lengkapku.

Aku masih menatapnya dengan ekspresi muka bertanya-tanya, dan mengingat-ingat seseorang yang ada di hadapanku ini. Sekilas mirip sekali dengan seseorang yang dulu pernah kutunggu kehadirannya. Sedetik kemudian, aku menyadarinya. Ingatanku benar, aku mengenalinya. Dia yang kutunggu kehadirannya.

“Arghian Pradika?” Aku balik bertanya dengan nada yang lambat.

“Akhirnya kamu ingat juga.” Dia tersenyum dan tertawa kecil. Senyuman yang kurindukan.

“Apa kabar?” Dia duduk di sampingku.

“Baik, seperti yang terlihat. Kamu sendiri gimana?” Aku membalas senyumannya sambil menutup catatan pribadiku.

“Sama, baik banget malah, hehehe. Kok ditutup bukunya? Sudah selesai atau aku mengganggu?”.

“Oh, nggak kok, Cuma lagi iseng aja, hehehe”.

“Kamu nggak beruah, masih kayak dulu, padahal udah lama banget nggak ketemu. Makanya tadi aku langsung ngenalin kamu.”

“Oh ya? Masa sih? Apanya yang nggak berubah?”

“Mata sipit, hidung pesek, mulut kecil, badan kecil, suara kecil, nggak ada perubahan sama sekali, hehehe”.

“Ih, yang kamu sebutin itu kan emang nggak bakal bisa diubah kecuali badan sama suara. Lagian juga badan aku berubah kok, nggak kecil kayak yang kamu bilang, berat badan aku sekarang tuh udah seimbang sama tinggi badan. Huh.” Aku mendengus, agak kesal, tetapi tidak terlalu serius.

“Tuh kan persis kayak dulu. Cerewet, bawel, dan rewel.” Tambahnya dengan ekspresi muka jahil yang sangat khas, seperti dulu.

“Kamu juga, masih sama jahilnya kayak dulu.” Aku membalas perkataannya. Kemudian dia tertawa.

Ya, semuanya seperti dulu. Pembicaraan ini seperti rekaman lama yang diputar ulang. Saling mengejek, sampai pada akhirnya aku yang kalah dan dia tertawa bahagia, menikmati ekspresi mukaku yang tertekuk. Kami saling berbincang, bertukar pikiran, dari satu hal ke hal lain. Tidak terbesit di pikiranku untuk bertanya kepadanya tentang alasan dia sempat menghilang tujuh tahun yang lalu, karena untuk sekarang hal itu tidaklah penting. Aku sudah menganggap tidak ada pertanyaan untuk masa lalu. Dia pun tidak membahas masalah itu. Kini, hubungan kamimembaik kembali. Sebenarnya hal itu terjadi pun sudah membuatku cukup bahagia.

“Apa sekarang kamu kerja di sini?” Dia bertanya, sambil menatapku.

“Iya. Pindah tugas, kenapa?”

“Nggak apa-apa. Tinggal dimana?”

“Aku beli apartemen, soalnya kalau rumah terlalu besar untuk sendiri.”

“Oh, sendiri. Keluargamu nggak ikut balik ke sini?”

“Nggak, Ayah sama Ibu udah betah di sana, maklumlah kota kelahiran Ayah.”

“Oh.... Kamu tinggal di sini lama atau sebentar?” Sifatnya tidak berubah, jika sudah bertanya satu hal, pasti terus bertanya, tetapi dia tidak akan menjawab jika ditanya balik.

“Yaaah... nggak tau juga deh, kalau kerjanya enak ya aku bakal betah di sini, hehehe.”

“Oh....”

Hening...

“Yaudah, dibetah-betahin aja ya di sini. Jangan pergi-pergi lagi. Di sini aja, biar aku bisa terus mantau kamu.” Lanjutnya tiba-tiba.

“Maksudnya?” Aku menatapnya, meminta penjelasan dari kata-katanya tadi.

“Maksudnya tuh kamu harus betah tinggal di sini, di kota ini, karena nanti nggak lama lagi aku ngelamar kamu nggak harus nyebrang lautan dulu, gitu. Ngerti nggak?” Ucapnya sambil menatap mataku.

Aku sangat terkejut karena perkataannya tadi. Aku hanya bisa diam sambil membalas tatapan matanya dengan perasaan heran, kaget, sekaligus senang. Dia tersenyum melihat ekspresiku. Senyumannya yang khas itu membuatku tersenyum juga, dan ada rasa sedikit terharu.

Penantianku selama lebih kurang sebelas tahun ternyata tidak sia-sia. Selama tujuh tahun aku di luar pulau jawa, ternyata dia terus menunggu kepulanganku. Saat dia mengakui hal itu aku sempat bertanya kepadanya jika aku tidak kembali ke kota ini. Dia pun menjawab dengan muka jahilnya dan mengatakan bahwa dia akan menyusulku dan menyeretku untuk kembali. Aku pun tertawa mendengar jawaban darinya. Tujuh tahun yang lalu aku mengucapkan ‘Sampai jumpa’ bukannya ‘Selamat tinggal’ karena pada waktu itu aku percaya kita berdua pasti bertemu kembali.




03 Agustus 2012
23:53

Jumat, 03 Februari 2012

Dia dan Hujan

It’s just a fiction story..




Waktu kecil-sebelum mengerti segala hal-aku nggak suka dengan turunnya hujan. Karena, jika hujan turun, aku tidak bisa bermain di luar bersama teman-temanku yang lain. Tubuhku lemah, tidak boleh terkena hujan. Jika aku nekat, pasti langsung terkena penyakit. Hal itu pernah beberapa kali terjadi. Keluar masuk rumah sakit membuatku berfikir seolah rumah sakit adalah rumahku yang lain. Setiap pergi ke sekolah pun aku selalu membawa payung dan jaket. Namun, ada saat dimana aku tidak membawa payung, saat dimana baru kumengerti tentang segala hal.


Saat itu, umurku sekitar 6 tahun, baru memasuki sekolah dasar kelas satu. Ketika ingin pulang, tiba-tiba hujan turun sangat deras. Aku lupa tidak membawa payung, orangtuaku pun tidak menjemput. Aku hanya bisa menunggu, sampai sang hujan berhenti melimpahkan linangannya ke bumi. Kemudian, dia datang. Menghampiriku, menyodorkan payungnya sambil tersenyum kepadaku. Senyumannya yang sangat khas dan tulus. Aku sempat menolak bantuannya, tetapi dia tahu aku tidak akan pulang jika hujan belum reda. Dia pun melambaikan tangannya sebelum berlari kecil ke rumahnya menembus derasnya hujan. Akhirnya aku pulang menggunakan payung kecilnya.


Sejak kejadian itu, selama satu minggu dia tidak masuk sekolah. Kudengar dari para guru, ia masuk rumah sakit. Dia sakit karena menolongku. Siapapun pasti tahu dan mengerti, jika terkena hujan deras seperti itu pasti akan terserang sakit, apalagi anak kecil seperti kami yang daya tahan tubuhnya masih rentan. Kira-kira seperti itu makna yang Ibuku katakan, ketika aku menceritakan kejadian waktu itu dengan penuh penyesalan. Namun, ada hal yang yang lebih membuatku menyesal. Orangtuaku memutuskan untuk pindah rumah ke luar kota, sebelum sempat aku meminta maaf kepadanya, karena dia masih berada di rumah sakit.


Ternyata sang waktu sanggup menghapuskan ingatan akan kejadian tersebut. Hanya ingatan itu saja. Kini, setelah dua belas tahun berlalu, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku ke luar kota-bukan kota kelahiranku. Entah kenapa aku memilih kota yang bahkan memiliki julukan yang tidak kusukai. Namun, pada satu siang berlimpahkan rintik hujan, aku menemukan kembali senyum itu. Senyum khas dia-yang sempat kulupakan. Di sebuah café, saat aku ingin bertemu dengan temanku. Temanku yang melihatku berdiri di depan pintu café sambil menutup payung memanggilku. Seorang lelaki menoleh kepadaku. Kupikir itu karna namaku yang memang terdengar langka. Namun, ternyata tidak. Dugaanku salah. Lelaki itu terus memperhatikanku. Aku balas memperhatikan. Aku terheran, wajahnya memang tidak kukenal. Namun, setelah lelaki itu tersenyum, aku terkejut. Senyuman itu sangat khas, senyuman yang sangat kukenal dan kuingat. Aku terpaku di tempat. Dia pun masih duduk di tempatnya. Namun, yang aku tahu pasti saat itu hanyalah, seseorang itu adalah benar dia. Sejak saat itu pandanganku terhadap hujan pun berubah. Segala hal pasti ada sisi baik dan buruknya. Aku dan dia bertemu kembali setelah waktu dua belas tahun yang terlewatkan, di tengah keramaian café, saat di luar terdengar rintik hujan, di Kota Hujan.






Bogor, 31 Januari 2012

Untuk yang selalu kurindukan dan kunanti.