Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Sabtu, 16 Mei 2015

Tanpamu

Masih rute perjalanan yang sama.
Namun, terasa berbeda dibandingkan satu tahun yang lalu.

Dulu, kau dan aku berada di satu gerbong yang sama.
Rute perjalanan yang searah.
Pagi dan sore hari.

Selalu ada cerita saat bersamamu di atas gerbong yang melaju.
Bahagia, sedih, marah, ataupun kesal.
Semua cerita itu mengalir dengan diiringi wajah segar di pagi hari, dan juga wajah yang tampak lelah di sore hari kau dan aku bertemu.
Selalu seperti itu.

Setahun telah berlalu.
Sejak aku menghindari gerbong dan rute perjalanan itu.
Sejak kau pergi.
Satu tahun yang membuatku menyerah untuk melarikan diri.
Lari dari semua cerita dan kenangan kita yang pernah menghiasi setiap gerbong di rute perjalanan itu.

Kini, aku berada di atas gerbong yang melaju.
Masih rute perjalanan yang sama.
Memulai kembali rutinitas yang sama.
Bersama dengan perasaan yang telah tertata.
Serta, untuk pertama kalinya aku berada di sini sendiri.
Tanpamu.
Kau yang telah berada di dimensi yang berbeda.


Selasa, 09 April 2013

Coretan Kecil Tentang Dirimu


Untuk kali ini saja. Biarkan aku menatap siluet dirimu. Dirimu yang tersenyum lepas. Walaupun hanya dalam sebuah foto. Biarkan semua perasaan ini tercurahkan, karena aku akan melepaskan semuanya, tanpa sisa. Dengan begitu, akan lebih mudah bagiku untuk menghapuskan dan melupakan semuanya. Apabila hal itu pun ternyata tak berhasil, aku akan berusaha merubahnya. Merubahnya sedemikian rupa agar tidak berkembang seperti yang tidak seharusnya, karena aku tahu, semua itu terlarang. Semua itu telah menembus garis-garis aturan. Terlebih lagi, karena aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama, yang dulu pernah dilakukan oleh orang-orang yang terpenting bagiku.

Dirimu berbeda. Kenyataan itu akan selalu ada di pikiranku, untuk meyakinkanku. Kenyataan itu pulalah yang nyaris membuatku terpontang panting. Kehadiranmu yang sempat menyita perhatianku saat awal pertemuan denganmu, saat aku belum mengetahui adanya perbedaan yang begitu besar. Perhatianmu yang selalu membuatku seperti melayang, namun selalu terhempas kembali ketika kau dan aku dengan atau tanpa sadar mengisyaratkan tanda-tanda perbedaan itu.

Kau dan aku memang berjalan untuk satu tujuan yang sama. Namun, jalur dan cara yang kau tempuh berbeda denganku. Semua hal itu sudah sangat jelas. Dipaksakan sama pun, semuanya tidak akan benar. Oleh karena itu, aku akan tetap pada pilihanku. Aku akan terus berjalan pada hal yang aku yakini benar. Begitu pula dengan dirimu, tetapi dengan keyakinan yang berbeda.


Bogor, 08 April 2013
(22:02)

Rabu, 12 September 2012

So Long


“Ta?” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkanku dari belakang, yang ternyata Ibuku. “Ngapain berdiri aja di situ? Ayo cepat, perjalanan ke bandara kan cukup lama, belum macetnya”.

“Iya Bu sebentar.” Aku menoleh kembali ke arah depanku. Masih ingin menatap rumah yang akan kutinggalkan. Kenanganku. Merasa lucu waktu pertama pindah ke rumah ini delapan tahun yang lalu. Aku terus menerus menekukkan muka karena tidak menyukai suasananya. Namun, sekarang terasa berat untuk meninggalkannya. Terlebih lagi meninggalkan kota ini, dan meninggalkan seseorang yang selama empat tahun ini menarik perhatianku. Padahal pada akhirnya kami bisa menjadi dekat, dan itu sudah berlangsung selama satu tahun. Beberapa hari sebelum kepindahanku-hari ini- tidak ada kabar darinya. Dia memang sudah mengetahui mengenai kepindahanku ini, tetapi tidak tahu kapan tepatnya.

Keluargaku memutuskan untuk pindah tempat tinggal keluar pulau, karena aku diterima di salah satu Universitas di sana’.

Hanya itu yang kusampaikan kepadanya lewat pesan singkat beberapa minggu yang lalu. Tidak ada balasan, tidak ada telepon, maupun tidak ada sosok dirinya datang ke rumahku. Semua berubah sangat drastis.

“Hhh....” Aku menghela nafas dan menunduk sebentar, kemudian mengangkat kepalaku kembali, “Sampai jumpa,” bisikku. Padahal tidak ada sosoknya. Lalu berlari kecil menuju mobil, karena teriakkan Ibu untuk segera cepat terdengar kembali.

Selama peerjalanan aku terdiam, pada saat mobil melintasi di depan rumah Dia, aku terus melihat ke arah rumah itu, sampai tidak terlihat lagi. Mungkin memang sudah seharusnya seperti ini. Pasrah dengan kenyataan yang ada. Aku harus meyakinkan diriku, dengan kemungkinan kami akan bertemu kembali, walaupun itu akan membutuhkan waktu yang lama. Namun, waktu terus berjalan, kenyataan dan keadaan berubah.

Tujuh tahun kemudian...

Aku kembali ke Pulau Jawa, tepatnya ke tempat kotaku dulu, karena sebuah pekerjaan yang menuntutku untuk kembali. Sudah bayak yang berubah kondisi jalanan dan tempat-tempat yang kulewati. Aku bahkan hampir salah arah ketika mengendarai mobilku. Aku memutuskan untuk pergi ke taman tempat dulu aku bermain dengan teman-teman semasa SMP dan SMA. Setelah memarkirkan mobilku, aku berjalan menelusuri taman tersebut. Banyak anak kecil yang bermain dengan riang gembira. Aku mengamati dari jauh, lalu tersenyum, teringat akan kejadian bertahun-tahun yang lalu. Kemudian aku duduk di salah satu bangku taman, mengeluarkan catatan pribadi dan bolpoin dari dalam tas kecilku. Aku mulai menggambarkan suasana di sekitarku lewat tulisan. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaanku setiap kali aku pergi ke suatu tempat, menyempatkan diri untuk mengabadikan kenangan tersebut di dalam catatan pribadiku.

“Delyta?”

Di tengah keasikanku, seseorang memanggil namaku, dengan suara khas yang berat, suara lelaki. Aku menoleh ke arah suara tersebut, terheran karena masih ada yang mengenaliku. Padahal sudah lama sekali aku tidak tinggal di sini.

“Delyta hanivka?” Seseorang itu mengulangi pertanyaannya, kali ini menyebutkan nama lengkapku.

Aku masih menatapnya dengan ekspresi muka bertanya-tanya, dan mengingat-ingat seseorang yang ada di hadapanku ini. Sekilas mirip sekali dengan seseorang yang dulu pernah kutunggu kehadirannya. Sedetik kemudian, aku menyadarinya. Ingatanku benar, aku mengenalinya. Dia yang kutunggu kehadirannya.

“Arghian Pradika?” Aku balik bertanya dengan nada yang lambat.

“Akhirnya kamu ingat juga.” Dia tersenyum dan tertawa kecil. Senyuman yang kurindukan.

“Apa kabar?” Dia duduk di sampingku.

“Baik, seperti yang terlihat. Kamu sendiri gimana?” Aku membalas senyumannya sambil menutup catatan pribadiku.

“Sama, baik banget malah, hehehe. Kok ditutup bukunya? Sudah selesai atau aku mengganggu?”.

“Oh, nggak kok, Cuma lagi iseng aja, hehehe”.

“Kamu nggak beruah, masih kayak dulu, padahal udah lama banget nggak ketemu. Makanya tadi aku langsung ngenalin kamu.”

“Oh ya? Masa sih? Apanya yang nggak berubah?”

“Mata sipit, hidung pesek, mulut kecil, badan kecil, suara kecil, nggak ada perubahan sama sekali, hehehe”.

“Ih, yang kamu sebutin itu kan emang nggak bakal bisa diubah kecuali badan sama suara. Lagian juga badan aku berubah kok, nggak kecil kayak yang kamu bilang, berat badan aku sekarang tuh udah seimbang sama tinggi badan. Huh.” Aku mendengus, agak kesal, tetapi tidak terlalu serius.

“Tuh kan persis kayak dulu. Cerewet, bawel, dan rewel.” Tambahnya dengan ekspresi muka jahil yang sangat khas, seperti dulu.

“Kamu juga, masih sama jahilnya kayak dulu.” Aku membalas perkataannya. Kemudian dia tertawa.

Ya, semuanya seperti dulu. Pembicaraan ini seperti rekaman lama yang diputar ulang. Saling mengejek, sampai pada akhirnya aku yang kalah dan dia tertawa bahagia, menikmati ekspresi mukaku yang tertekuk. Kami saling berbincang, bertukar pikiran, dari satu hal ke hal lain. Tidak terbesit di pikiranku untuk bertanya kepadanya tentang alasan dia sempat menghilang tujuh tahun yang lalu, karena untuk sekarang hal itu tidaklah penting. Aku sudah menganggap tidak ada pertanyaan untuk masa lalu. Dia pun tidak membahas masalah itu. Kini, hubungan kamimembaik kembali. Sebenarnya hal itu terjadi pun sudah membuatku cukup bahagia.

“Apa sekarang kamu kerja di sini?” Dia bertanya, sambil menatapku.

“Iya. Pindah tugas, kenapa?”

“Nggak apa-apa. Tinggal dimana?”

“Aku beli apartemen, soalnya kalau rumah terlalu besar untuk sendiri.”

“Oh, sendiri. Keluargamu nggak ikut balik ke sini?”

“Nggak, Ayah sama Ibu udah betah di sana, maklumlah kota kelahiran Ayah.”

“Oh.... Kamu tinggal di sini lama atau sebentar?” Sifatnya tidak berubah, jika sudah bertanya satu hal, pasti terus bertanya, tetapi dia tidak akan menjawab jika ditanya balik.

“Yaaah... nggak tau juga deh, kalau kerjanya enak ya aku bakal betah di sini, hehehe.”

“Oh....”

Hening...

“Yaudah, dibetah-betahin aja ya di sini. Jangan pergi-pergi lagi. Di sini aja, biar aku bisa terus mantau kamu.” Lanjutnya tiba-tiba.

“Maksudnya?” Aku menatapnya, meminta penjelasan dari kata-katanya tadi.

“Maksudnya tuh kamu harus betah tinggal di sini, di kota ini, karena nanti nggak lama lagi aku ngelamar kamu nggak harus nyebrang lautan dulu, gitu. Ngerti nggak?” Ucapnya sambil menatap mataku.

Aku sangat terkejut karena perkataannya tadi. Aku hanya bisa diam sambil membalas tatapan matanya dengan perasaan heran, kaget, sekaligus senang. Dia tersenyum melihat ekspresiku. Senyumannya yang khas itu membuatku tersenyum juga, dan ada rasa sedikit terharu.

Penantianku selama lebih kurang sebelas tahun ternyata tidak sia-sia. Selama tujuh tahun aku di luar pulau jawa, ternyata dia terus menunggu kepulanganku. Saat dia mengakui hal itu aku sempat bertanya kepadanya jika aku tidak kembali ke kota ini. Dia pun menjawab dengan muka jahilnya dan mengatakan bahwa dia akan menyusulku dan menyeretku untuk kembali. Aku pun tertawa mendengar jawaban darinya. Tujuh tahun yang lalu aku mengucapkan ‘Sampai jumpa’ bukannya ‘Selamat tinggal’ karena pada waktu itu aku percaya kita berdua pasti bertemu kembali.




03 Agustus 2012
23:53

Jumat, 03 Februari 2012

Dia dan Hujan

It’s just a fiction story..




Waktu kecil-sebelum mengerti segala hal-aku nggak suka dengan turunnya hujan. Karena, jika hujan turun, aku tidak bisa bermain di luar bersama teman-temanku yang lain. Tubuhku lemah, tidak boleh terkena hujan. Jika aku nekat, pasti langsung terkena penyakit. Hal itu pernah beberapa kali terjadi. Keluar masuk rumah sakit membuatku berfikir seolah rumah sakit adalah rumahku yang lain. Setiap pergi ke sekolah pun aku selalu membawa payung dan jaket. Namun, ada saat dimana aku tidak membawa payung, saat dimana baru kumengerti tentang segala hal.


Saat itu, umurku sekitar 6 tahun, baru memasuki sekolah dasar kelas satu. Ketika ingin pulang, tiba-tiba hujan turun sangat deras. Aku lupa tidak membawa payung, orangtuaku pun tidak menjemput. Aku hanya bisa menunggu, sampai sang hujan berhenti melimpahkan linangannya ke bumi. Kemudian, dia datang. Menghampiriku, menyodorkan payungnya sambil tersenyum kepadaku. Senyumannya yang sangat khas dan tulus. Aku sempat menolak bantuannya, tetapi dia tahu aku tidak akan pulang jika hujan belum reda. Dia pun melambaikan tangannya sebelum berlari kecil ke rumahnya menembus derasnya hujan. Akhirnya aku pulang menggunakan payung kecilnya.


Sejak kejadian itu, selama satu minggu dia tidak masuk sekolah. Kudengar dari para guru, ia masuk rumah sakit. Dia sakit karena menolongku. Siapapun pasti tahu dan mengerti, jika terkena hujan deras seperti itu pasti akan terserang sakit, apalagi anak kecil seperti kami yang daya tahan tubuhnya masih rentan. Kira-kira seperti itu makna yang Ibuku katakan, ketika aku menceritakan kejadian waktu itu dengan penuh penyesalan. Namun, ada hal yang yang lebih membuatku menyesal. Orangtuaku memutuskan untuk pindah rumah ke luar kota, sebelum sempat aku meminta maaf kepadanya, karena dia masih berada di rumah sakit.


Ternyata sang waktu sanggup menghapuskan ingatan akan kejadian tersebut. Hanya ingatan itu saja. Kini, setelah dua belas tahun berlalu, aku memutuskan untuk melanjutkan sekolahku ke luar kota-bukan kota kelahiranku. Entah kenapa aku memilih kota yang bahkan memiliki julukan yang tidak kusukai. Namun, pada satu siang berlimpahkan rintik hujan, aku menemukan kembali senyum itu. Senyum khas dia-yang sempat kulupakan. Di sebuah café, saat aku ingin bertemu dengan temanku. Temanku yang melihatku berdiri di depan pintu café sambil menutup payung memanggilku. Seorang lelaki menoleh kepadaku. Kupikir itu karna namaku yang memang terdengar langka. Namun, ternyata tidak. Dugaanku salah. Lelaki itu terus memperhatikanku. Aku balas memperhatikan. Aku terheran, wajahnya memang tidak kukenal. Namun, setelah lelaki itu tersenyum, aku terkejut. Senyuman itu sangat khas, senyuman yang sangat kukenal dan kuingat. Aku terpaku di tempat. Dia pun masih duduk di tempatnya. Namun, yang aku tahu pasti saat itu hanyalah, seseorang itu adalah benar dia. Sejak saat itu pandanganku terhadap hujan pun berubah. Segala hal pasti ada sisi baik dan buruknya. Aku dan dia bertemu kembali setelah waktu dua belas tahun yang terlewatkan, di tengah keramaian café, saat di luar terdengar rintik hujan, di Kota Hujan.






Bogor, 31 Januari 2012

Untuk yang selalu kurindukan dan kunanti.

Selasa, 31 Mei 2011

Pertengkaran Anak Kecil

Cerita ini sebenarnya di buat hanya karena lagi iseng aja.. hehehe.. agak ga jelas sih, tapi ini cerita nyata lho!! dari anak-anak kecil yang ada di sekitar rumah.. hehehe
^_^

Suatu sore yang sejuk, di sebuah rumah nampak tiga orang anak kecil sedang bermain dengan asik. Dua orang dari ketiganya merupakan kakak beradik yaitu Maria yang berumur 6 tahun dan Mimi yang berumur 4 tahun. Sedangkan yang satu lagi merupakan tetangga mereka, namanya Nofa, umurnya 5 tahun.

Nofa : "Eh, Kak Maria, kita main guru-guruan aja yuk! Nih aku ada papan tulisnya! Kakak jadi gurunya ya?" (Sambil mengangkat papan tulis)

Maria : "Nggak mau ah, nanti mau nulisnya pakai apa? kan nggak ada spidolnya!"

Nofa : "Yaahh... terus mau main apa lagi dong??"

Mimi : "Eh Nofa! katanya kamu punya anak kucing yang baru lahir yaa?? Aku boleh lihat nggak??"

Nofa : "Iyaa.. tuh ada di kotak di sana!" (Sambil menunjuk sebuah kotak)

Mimi : "Aku mau pegang aahh..." (Mendekat ke arah kotak yang ditunjuk oleh Nofa)

Tiba-tiba...

Nofa : "Mimiii!!! Kotaknya nggak boleh dibuka! Nanti kucingnya bangun!!"

Terdengar suara anak-anak kucing...

Nofa : "Tuuhh kaann!! Anak kucingnya jadi bangun!! Gara-gara kamu sih Mi!" (Sambil marah dan sewot)

Mimi : "Lho, tapi kan tadi aku cuma buka sedikit kotaknya..." (Cemberut dan hampir ingin menangis)

Nofa : "Ya tetap aja kan udah kamu buka kotaknya! Aku lihat kok! Kak Maria juga lihat kan?" (Menoleh ke Maria)

Maria : "Iya.."

Lalu Mimi pun mulai menangis dan berlari menuju rumahnya.

Nofa : "Ih, masa gitu aja nangis, aku kan cuma ngebilangin aja."

Maria : "Ya udah sebentar, aku samperin Mimi dulu, biar bisa main lagi nanti."

Nofa : "Iya sana, aku tunggu di sini aja."

Maria setegat berlari menuju rumahnya untuk membujuk Mimi. Sesaat kemudian Maria dan Mimi datang.

Nofa : "Kamu kalau mau main jangan nangis melulu dong Mi!"

Mimi : "Abisnya tadi kamu ngomongnya jahat banget Fa..."

Maria : "Ya udah yuk kita main lagi aja. Nih, aku bawa balon sabun dari rumah. Kita tiup bareng-bareng ya.. buat balon yang banyaakk!!" (Menunjukkan balon ke Nofa)

Nofa : "iyaa... yuuukk!!" (mengambil botol balon dari Maria)

Saat Nofa dan Maria sedang asik bermain balon sabun, diam-diam Mimimendekati kotak yang berisi anak-anak kucing. Mimi begitu penasaran ingin melihat anak-anak kucing tersebut. Tiba-tiba begitu kotak terbuka, suara anak-anak kucing itu pun terdengar nyaring sekali, sehingga Nofa dan Maria terkejut dan berhenti meniup balon sabun.

Nofa : "Mimiiiiiiii!!! Kan udah aku bilang jangan ganggu anak-anak kucingnyaaa!!!" (teriak)

Mimi : "Tapi kan aku cuma mau lihat aja..."

Nofa : "Nanti kalau digigit gimana hayooo! Aku nggak mau tau ya kalau nanti kamu digigit sama kucingnya!"

Mimi mulai menangis lagi...

Nofa : "Tuh kan kamu nangis melulu! Aku kan cuma ngasih tau aja supaya kamu nggak digigit!"

Tangis Mimi semakin keras, dan ia berlari ke rumahnya lagi. Beberapa menit kemudian Mimi datang kembali ke rumah Nofa bersama ibunya.

Ibu Maria dan Mimi : "Nofa, Maria, jangan berantem gitu dong sama Mimi. Miminya di ajak main ya! Main bareng-bareng!"

Nofa : "Nggak berantem kok Bu, kan tadi aku cuma bilangin ke Mimi, jangan ganggu kucingnya nanti takutnya digigit."

Ibu Maria dan Mimi : "Ya udah, kucingnya biarin aja. Sekarang baikan ya... jangan berantem lagi."

Mimi pun mengulurkan tangannya dan Nofa menyambutnya. Lalu mereka bertiga memindahkan kotak kucing itu ke tempat yang lumayan jauh dari tempat mereka bermain. Akhirnya Maria, Mimi, dan Nofa bermain balon sabun bersama-sama sambil tertawa riang, dan langit sore hari itu pun kembali cerah.


*** Sekian ***

^_^

Senin, 28 Maret 2011

cerita singkat

pada suatu hari di sebuah daerah yg di tempati oleh para semut besar, ada seekor semut kecil yg tersesat.. semut kecil itu kemudian meminta izin kepada semut2 besar untuk tinggal sementara di tempat itu, sampai dia bisa mengingat jalan ke arah daerahnya.. tetapi walaupun di izinkan untuk tinggal, semut kecil itu di jauhi oleh semua semut besar.. selama berhari2 dia di jauhkan.. setelah tidak sanggup lagi sendiri akhirnya semut kecil itu mati dalam keadaan kesepian karna tidak mempunyai teman satupun..


~tamat~

Selasa, 15 Februari 2011

Sebuah Pesan Ei untuk Kak Iyo

“Kak... mungkin aku belum benar-benar bisa terima kalau Kakak pergi. Sekarang sudah tidak ada lagi seseorang yang memerhatikanku, mengkhawatirkanku, mengomeliku, menjagaku, menyayangiku, dan lain-lain hal yang pernah Kak Iyo Lakukan untukku. Dan aku tidak tahu lagi harus berlari kepada siapa jika sesuatu terjadi kepadaku, karena hanya Kakak satu-satunya tujuanku berlari. Tetapi, Kakak tenang saja, aku tidak akan mencari seseorang pengganti Kakak, karena aku tidak akan berlari lagi. Aku akan menghadapi semuanya, dengan semua kekuatan yang pernah Kakak berikan kepadaku. Aku tidak akan mengecewakan Kakak, aku pasti akan membuat Kakak bangga, jadi Kakak bisa tenang di sana. Ei pasti bisa. Ei akan terus bersemangat menjalani hidup! Hehehe... Ya sudah, aku pulang dulu ya Kak. Nanti kapan-kapan aku datang lagi ke sini untuk menjenguk Kak Iyo. Ei bangga sama Kak Iyo. Ei sangat sayang sama Kak Iyo, selamanya. Good bye Kak...” Aku mengusap airmataku, dan beranjak dari pemakaman ini. Berjalan dengan penuh ketegaran menyambut masa depan yang telah menantiku. Aku akan tunjukkan, aku bisa menjalani hidupku meskipun tanpa Kak Iyo di sisiku.